INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM (RECHTS STAATS)
Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan bahwa Hukum
Acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai
persamaan dengan Hukum Acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk
perkara perdata dengan beberapa perbedaan (Anonim, 1986-Penjelasan).
Sedangkan
yang di maksud Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata
(R. Wirjono Prodjodikoro, 1978 – 13).
Dengan
berpedoman pada rumusan yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro
tersebut di atas, dapat pula dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan "Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka
Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara
(Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain yang dimaksud Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur tentang cara-cara
bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengur hak dan
kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa
tersebut".
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memuat peraturan-peraturan tentang kedudukan, susunan, kekuasaan serta Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 ini dapat disebut sebagai suatu hukum acara dalam
arti luas, karena undang-undang ini tidak saja mengatur tentang
cara-cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sekaligus
juga mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan dari Peradilan
Tata Usaha Negara. Untuk dapat memahami Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
ini, kita tidak cukup hanya mempelajari pasal-pasal yang tersurat saja,
tetapi kita juga harus memahami asas-asas yang terkandung didalamnya
dan sekaligus mempelajari penjelasannya. Di samping itu karena Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara ini banyak mempunyai persamaan dengan
Hukum Acara Perdata, tidak ada salahnya kita juga mempelajari Hukum
Acara Perdata sebagai suatu perbandingan.
Untuk
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara ini, kita tidak
dapat begitu saja menggunakan istilah Hukum Acara Tata Usaha Negara,
seperti halnya Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana. Hal ini
disebabkan karena di dalam Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi
Negara), istilah Hukum Acara Tata Usaha Negara itu telah mempunyai arti
tersendiri, yaitu peraturan yang mengatur tentang tata cara pembuatan
suatu Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara. Aturan ini biasanya
secara inklusif ada di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar pembuatan Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Oleh
karena itu untuk menghindari kerancuan dalam penggunaan istilah, maka
sebaiknya untuk Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara
digunakan istilah HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA, BUKAN HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA.
1. ASAS-ASAS YANG BERLAKU DALAM HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Seperti
telah kita kemukakan sebelumnya bahwa Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara ini mempunyai persamaan dengan Hukum Acara Perdata, dengan
beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain:
(a) Pada
Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu
undang-undang ini mengarah pada pembuktian bebas;
(b) Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya
sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang-undang ini diberikan
kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain:
(a) Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk merumuskan gugatannya;
(b) Warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk berperkara secara cuma-cuma;
(c) Apabila
terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas permohonan
penggugat, Ketua Pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan
dengan acara cepat;
(d) Penggugat
dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke
Pengadilan yang berwenang mengadilinya.
(e) Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
(f) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri (Anonim, 1986 Penjelasan).
Walaupun
penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut di atas
menyebutkan bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata
Usaha Negara, mempunyai persamaan dengan Hukum Acara yang digunakan di
Peradilan Umum untuk perkara perdata, itu tidak berarti bahwa kita
dengan begitu saja dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku
dalam Hukum Acara Perdata, itu tidak berarti bahwa kita dengan begitu
saja dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara
Perdata dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hal ini akan
dibatasi oleh Prinsip dasar yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara,
terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili).
Seperti kita ketahui Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya
berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Sengketa ini berpangkal dari ditetapkannya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu
pada hakikatnya sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah
atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa:
(a) Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
(b) Sengketa
yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa
mengenai sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, bukan
sengketa mengenai kepentingan hak.
Oleh
karena itu gugat balik (gugat rekonvensi) dan gugat mengenai ganti rugi
yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Karena dalam gugat balik (gugat
rekonvensi) tersebut bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang digugat, tetapi adalah warga masyarakat atau Badan Hukum Perdata.
Sedangkan gugat ganti rugi adalah merupakan sengketa tentang kepentingan
hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk mengadilinya. Sebalinya
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun
1986, yang dapat bertindak sebagai penggugat di Peradilan Tata Usaha
Negara hanyalah orang atau Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin
terjadi saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara di Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1. UPTUN).
Di
samping asas-asas tersebut di atas di Peradilan Tata Usaha Negara juga
diberlakukan asas peradilan cepat, muran dan sederhana serta semacam
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang
kita kenal dalam Hukum Acara Pidana. Di mana seorang Pejabat Tata Usaha
Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan
Tata Usaha Negara sebelum ada putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah di dalam membuat keputusan
Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha
Negara tetap dianggap sah (tidak melawan hukum), sebelum adanya putusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan
keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya
pelaksanaan keputusan tersebut.
Peradilan
Tata Usaha Negara juga mengenal Peradilan In absentia sebagaimana
berlaku dalam Peradilan untuk Tindak Pidana Khusus, di mana sidang
berlangsung tanpa hadirnya tergugat.
Menuut
pasal 72 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 bila tergugat atau kuasanya
tidak hadir di persidangan 2 (dua) kali berturut-turut dan/atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan,
walaupun setiap kali telah dipanggil secara patut, maka Hakim Ketua
Sidang dengan Surat Penetapan meminta atasan tergugat untuk
memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan. Setelah lewat 2
(dua) bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan
dimaksud, tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari
tergugat sendiri, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa,
tanpa hadir tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan
hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya tetap dilakukan
secara tuntas.
Berbeda
dengan acara yang berlaku di persidangan Peradilan Perdata, dalam hal
demikian Hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek. Seperti telah
dikemukakan di atas dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim tidak
langsung menjatuhkan putusan verstek, tetapi tetap melanjutkan sidang
dengan acara biasa. Putusan baru bisa dijatuhkan setelah pemeriksaan
segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. Cara ini ditempuh dalam
Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menjaga jangan sampai kepentingan
negara dirugikan karena kelalaian tergugat.
2. SUMBER HUKUM TATA USAHA NEGARA (HUKUM ADMINISTRASI NEGARA)
Sumber-sumber formal Hukum Administrasi Negara adalah:
(a) Undang-undang (Hukum Administrasi negara tertulis),
(b) Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan Hukum Kebiasaan),
(c) Yurisprudensi
(d) Anggapan para ahli Hukum Administrasi Negara (E. Utrecht, 1984-74).
Mengenai
undang-undang sebagai Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi
Negara) tertulis berbeda dengan Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Sampai
sekarang Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) belum
mempunyai suatu kodifikasi, sehingga Hukum Tata Usaha Negara (Hukum
Administrasi Negara) tersebut tersebar dalam berbagai ragam peraturan
perundang-undangan.
Menurut Donner kesulitan membuat kodifikasi Hukum Administrasi Negara tersebut disebabkan oleh:
(a) Peraturan-peraturan
Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan sering secara
mendadak, sedangkan peraturan-peraturan Hukum Privat dan Hukum Pidana
hanya berubah secara berangsur-angsur saja.
(b) Pembuatan
peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara tidak berada dalam satu
tangan. Di luar pembuat undang-undang pusat, hampir semua Departemen dan
semua Pemerintah Daerah Swatantra membuat juga peraturan-peraturan
Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi sangat
beraneka warna dan tidak bersistem (E. Utrecht, 1964-75).
Dengan
tidak adanya kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi
Negara) ini dapat menyulitkan bagi para Hakim Peradilan Tata Usaha
Negara untuk menemukan Hukum di dalam memutus suatu sengketa, karena
Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) tersebar dalam
berbagai ragam peraturan perundang-undangan yang jumlahnya cukup banyak.
Diperkirakan ada beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara (Hukum
Administrasi Negara) yang akan banyak menimbulkan sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu bidang Kepegawaian, bidang Agraria, bisang Perizinan dan
bidang Perpajakan, yang semuanya tersebar dalam berbagai ragam peraturan
perundang-undangan, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, sampai pada Peraturan
dan Keputusan Kepala Daerah. Oleh karena itu untuk mengadili suatu
sengketa Tata Usaha Negara, seorang Hakim dituntut agar lebih aktif dan
lebih terampil di dalam menemukan Hukum, kalau tidak demikian proses
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara akan menjadi tersendat-sendat.
Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia yang sedang giat membangun, yang
masih memerlukan tindakan-tindakan deregulasi dan debirokratisasi untuk
mempercepat lajunya pembangunan, ketiadaan kodifikasi untuk mempercepat
lanjunya pembangunan, ketiadaan kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara
(Hukum Administrasi Negara) tersebut justru bisa menimbulkan suatu
manfaat. Dengan tidak adanya kodifikasi tersebut, Hukum
Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) akan bersifat dinamis,
sehingga akan mampu mengikuti gerak lajunya pembangunan dan perkembangan
masyarakat, asal saja ketidakadaan kodifkasi tersebut jangan sampai
mengurangi adanya jaminan kepastian hukum dan jangan sampai pula Hakim
terpaksa menolak suatu perkara dengan alasan tidak ditemukan hukum yang
mengatur tentang hal itu.
kutip by : H. Marbawi H. Syakban
Tidak ada komentar
Posting Komentar