Bukan Tempat untuk Mengeluh...
Hidup adalah sebuh kenyataan, pasti terjadi dan tidak akan kembali setelah kematian. Mengeluh?? emmm.... itulah kenyataan. Dunia akan mengeluh....
Tapi siapa temapat anda mengeluh??
Kepada siapakah engkau mengeluh?
Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata?
Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis.
Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk?
Kalau
untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan
ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan
bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu?
Kalau
istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan
tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau
mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di
jalan umum?
Kalau
nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau
lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak Kadus, Pak Kades atau para pamong
lainnya yang merupakan pengayorn masyarakat?
Kalau
dalam suatu kasus atau konflik di kantor engkau tercampakkan karena
engkau tak memiliki kekuasaan, backing dan relasi akankah engkau
menumpahkan airmata di kantor Polsek atau Koramil?
Kalau
tanah-rumahmu dan tanah rumah teman-temanmu sekampung atau sekecamatn
digusur tanpa ganti rugi yang memadai setidaknya karena disunat oleh
oknum-oknum pelaksananya: ke manakah engkau akan lari?
Apakah ke Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah?
Kantor Cabang NU?
Atau kantor Orwil ICMI Atau ke rumah KH. Zainuddin MZ?
Kalau
rasa cemburu memanggang dada-mu karena melihat tetangga begitu gampang
berganti-ganti mode mobil. Kalau rasa jengkel menampar-nampar
perasaanmu karena meiyaksikan jumlah kendaraan pribadi memenuhi lebih
dari lima puluh persen jalan-jalan di kotamu. Kalau rasa perih, sakit
dendam, menikam jantung ruhanimu, karena rnenghayati
perbedaan-perbedaan tingkat hidup yang mencolok, menghayati
ketimpangan, kesenangan dan ketidakseimbangan.
Siapakah yang bersedia mendengarkan keluhanmu?
Pak Ulama?
Pak Pendeta?
Pak Cendekiawan?
Pak Seniman?
Pak Khatib di rumah ibadah yang kata-katanya justru harus engkau dengarkan?
Kalau
hatimu bingung oleh kesumpegan ekonomi. Kalau perasaanmu gundah oleh
pusingan-pusingan hidup yang bak lingkaran setan. Kalau jiwamu serasa
akan berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar.
Kalau sukmamu rasanya mau copot karena himpitan-himpitan nasib yang tak
tertahankan.
Ke mana dan kepada siapakah engkau rebahkan keletihamu?
Kepada
rninuman. keras, ganja, arak dan joget dangdut, mengasyiki ramalan
angka-angka, menghirup rasa aman yang praktis melalui
pengajian-pengajian akbar?
Adakah
peluang, dan tidakkah dilarang, untuk mengemukakan isi hati kita
seadanya dan sejujur-jujurnya kepada Pak Lurah, Pak Polisi, Pak Kiai,
Pak Menteri, Pak Ilmuwan, Pak Wakil rakyat, Pak Profesional dan
lain-lain?
Kalau mernang mungkin kapan dan di mana?
Bolehkah
mendambakan bahwa Pak-pak itu pernah sesekali bertanya kepadamu
tentang apakah hatimu sedang bersedih, apakah ada kesulitan dan problem
yang tak bisa diatasi?
Kalau
tidak, lantas kepada siapa engkau nengeluh? Siapa yang bersedia
menjamin bahwa engkau dan anak istrimu tidak kelaparan? Siapa yang
menemanimu membanting tulang menghabiskan waktu untuk sekadar
mempertahankan penghidupan?
Siapa sahabatmu di dunia ini?
Siapa pemimpin yang santun dan memberimu rasa aman?
Allah menuntun mulut kita agar mengucapkan: "Innama asykubastsi wa huzni illalah."
Aku
keluhkan derita dan kesedihanku kepada Allah. Tetapi bukankah Ia telah
mewakilkan diri-Nya dan tugas-tugas itu kepada kita?
Akankah kita perintahkan Allah agar mengurusi soal kenaikan harga?
Semoga tulisan maskolis ini bisa jadi inspirasi hidup Untuk Kita semua. Salam....salam..........
reff: maskolis
Tidak ada komentar
Posting Komentar